Adakah yang menyukaimu sekonyol aku
menyukaimu?
Memandangi
diam-diam, mencuri dengar ,membuat bermacam skenario agar bisa berpapasan
denganmu di lorong-lorong kelas. Pergi ke ruang administrasi untuk mencari tahu
namamu. Buru-buru mengeluarkan motor supaya kita bisa keluar bersamaan dari
gerbang. Menghabiskan sore di teras belakang demi melihatmu bermain futsal.
Berdesak-desakan di koperasi sekolah agar bisa mengambil tempat sedekat mungkin
darimu.
Adakah yang mengenangmu sedalam aku
mengenangmu?
Aku
pertama kali melihatmu di bawah pohon depan sekolah kita. Tahun 2007. Terakhir
kali melihatmu saat expo universitas beberapa bulan setelah kita masuk kuliah.
Tahun 2010. Pertama mengingatmu setelah beberapa kali melewatimu saat kau
bermain ponsel di bawah pohon besar depan sekolah kita. Tahun 2007. Terakhir mengingatmu
saat aku menulis ini. Tahun 2012. Tiga tahun aku mengenali sosokmu, lima tahun
(dan sepertinya masih akan berlanjut beberapa tahun ke depan) aku mengingatmu.
Lupa? Tak pernah sekalipun. Saat aku berkunjung ke sekolah lama kita, aku
teringat kamu. Saat malam-malamku sepi, aku merindukan kamu. Saat berpapasan
dengan orang yang mirip kamu, aku berhenti sejenak dan mengamati.
Adakah yang memperhatikanmu sedetail aku
memperhatikanmu?
Kadang,
di sela-sela pembicaraan kita, aku ingin berkata, “Dulu aku penggemarmu loh”,
tapi selalu ku tahan-tahan. Aku takut,
kau jengah lantas menjauh setelah aku mengatakan itu.
Tapi
aku memang selalu jadi penggemarmu. Aku bisa mengenali sosokmu dari jauh. Aku
hapal caramu berjalan, bagaimana caramu sesekali menunduk saat bertemu orang
baru, dan caramu bergerak nyaman diantara sahabat-sahabatmu. Aku hapal caramu
memegang tali tasmu yang kau sampirkan di bahu kirimu, caramu berlari saat
bermain futsal sepulang sekolah. Aku juga hapal bagaimana matamu menyipit saat
tertawa, raut wajahmu yang tekun saat membaca komik, bahkan saat kau diam-diam
berjalan sambil melompat-lompat saat sekolah masih sepi.
Lihat
kan? Dulu aku benar-benar penggemarmu.
Dan adakah yang bertahan untuk tidak
mencintaimu seperti caraku menahan diri?
Saat
kita mengobrolkan banyak hal yang menyenangkan, aku selalu mencoba untuk tidak
terlalu bahagia. Mencoba untuk mengatur debarku. Mencoba untuk menenangkan
hatiku dan berkata, ”Jangan dia,Vit. Jangan
jatuh cinta dengan dia.” Ah, kamu terlalu berharga untuk aku cintai. Biarkan
aku menyukaimu saja, mengenangmu saja, memperhatikanmu saja, tanpa harus
mencintai. Karena cinta cenderung berubah menjadi hal yang menyebalkan. Cemburu,
posesif, patah hati… Ah,
kamu tak perlu mengalami itu. Belum.
Jadi,
jika suatu saat kamu membaca surat ini, dan menyadari kalau aku sedang
bercerita tentang kamu, perpura-puralah untuk tidak tahu. Kamu tak perlu merubah
cara bicaramu menjadi lebih lambat dan bijaksana, atau lebih cepat dan riang. Tak
perlu membuat dirimu seperti aktivis kampus, atau atlet futsal, atau musisi
hebat. Bahkan, kamu tak perlu pula belajar untuk mencintaiku. Tak perlu menjadi
sesuatu yang bukan kamu.
Karena kamu tak perlu melakukan apapun untuk
jadi orang yang aku suka.
Anggap
saja aku adalah penggemarmu nomor satu. Jangan bersikap berbeda di depan gadis
yang menyukaimu ini. Aku tidak ingin membebanimu dengan perasaanku.
Aku hanya
berharap, kalau di lain waktu kamu temui aku di jejaring sosial yang sama,
dengan lampu hijau menyala, jangan ragu untuk menyapaku. Aku tidak menyapamu
lebih dulu bukan karena aku tak mau, tapi karena mungkin saat itu keberanianku
belum terkumpul cukup banyak. Jangan takut kehabisan obrolan! Toh, kita selalu
bisa menemukan topik-topik yang menyenangkan seperti malam-malam yang lalu. Atau
saat kita berdua tidak tahu harus berkata apa lagi, bicaralah tentang cuaca! Kalimat
‘Disini hujan,Vit. Semarang hujan nggak?’
sudah bisa membuatku berbunga-bunga.
Barangkali,
nanti, saat takdir bermurah hati kepada kita, mempertemukan kita di siang yang
terik atau sore yang gerimis, aku akan mengumpulkan semua keberanianku, untuk menghampirimu,
menyapamu, lantas berkata:
“Dulu
aku penggemarmu loh.”
…dan sampai sekarang pun masih.